Serangan Israel telah meratakan sebagian besar wilayah Gaza Utara dan memaksa 80 persen dari 2,3 juta penduduk Gaza meninggalkan rumah mereka. Mereka mengungsi ke tempat-tempat penampungan terutama di wilayah Gaza Selatan di tengah krisis kemanusiaan yang semakin meningkat.
Otoritas Kesehatan Gaza mengumumkan bahwa lebih dari 18.700 warga Palestina tewas akibat serangan Israel. Penghitungan terbaru tidak merinci berapa banyak perempuan dan anak di bawah umur, namun secara konsisten mereka menyumbang sekitar dua pertiga dari korban tewas dalam penghitungan sebelumnya.
Di sisi lain, Hamas terus melanjutkan serangannya. Pada Jumat, mereka menembakkan roket dari Gaza menuju Israel tengah, membunyikan sirene di Yerusalem untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu tetapi tidak menyebabkan korban jiwa. Ketahanan kelompok tersebut menimbulkan pertanyaan apakah Israel dapat mengalahkannya tanpa memusnahkan seluruh wilayahnya. Israel tetap mendukung perang dan memandangnya sebagai hal yang perlu untuk mencegah terulangnya serangan Hamas, yang menurut mereka menewaskan sekitar 1.200 orang. Adapun 116 tentara Israel tewas dalam serangan darat yang mereka mulai pada 27 Oktober.
Pemerintahan Joe Biden telah menyatakan kegelisahannya atas kegagalan Israel dalam mengurangi korban sipil dan rencana mereka untuk masa depan Gaza, namun Gedung Putih terus memberikan dukungan sepenuh hati melalui pengiriman senjata dan dukungan diplomatik.
Serangan udara dan tembakan tank Israel terus berlanjut pada Jumat, termasuk di Khan Younis dan Rafah, yang merupakan salah satu daerah kecil di Gaza yang padat penduduknya (14/12). Rincian mengenai sebagian besar serangan tersebut tidak dapat dikonfirmasi karena layanan komunikasi di seluruh Gaza terputus sejak Kamis malam akibat pertempuran.
Dalam pertemuan dengan para pemimpin Israel pada Kamis dan Jumat, penasihat keamanan nasional Amerika Serikat (AS) Jake Sullivan membahas jadwal untuk meredakan fase pertempuran sengit dalam perang Hamas Vs Israel.
Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengatakan kepada Sullivan bahwa dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menghancurkan Hamas, namun dia tidak mengatakan apakah perkiraannya mengacu pada fase serangan udara dan pertempuran darat besar-besaran saat ini.
“Tidak ada kontradiksi antara mengatakan pertarungan akan memakan waktu berbulan-bulan dan juga mengatakan bahwa tahapan yang berbeda akan terjadi pada waktu yang berbeda selama bulan-bulan tersebut, termasuk transisi dari operasi berintensitas tinggi ke operasi yang lebih bertarget,” tegas Sullivan pada Jumat.
Sullivan juga bertemu dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk membahas masa depan Jalur Gaza pasca perang. Seorang pejabat senior AS mengatakan salah satu gagasan yang muncul adalah mengembalikan pasukan keamanan Palestina yang diusir dari Gaza oleh Hamas dalam pengambilalihan kekuasaan mereka pada tahun 2007.
Peran apa pun yang dimiliki pasukan keamanan Palestina di Gaza dipastikan akan menimbulkan perlawanan keras dari Israel, yang berupaya mempertahankan kehadiran keamanan terbuka di wilayah itu. Netanyahu mengatakan dia tidak akan mengizinkan Otoritas Palestina mengelola Jalur Gaza pasca perang.
AS sendiri menggarisbawahi pada akhirnya ingin melihat Tepi Barat dan Jalur Gaza berada di bawah revitalisasi Otoritas Palestina sebagai cikal bakal negara Palestina – sebuah gagasan yang ditolak mentah-mentah oleh Netanyahu, yang memimpin pemerintahan sayap kanan yang menentang kehadiran negara Palestina.
Menurut pernyataan dari kantor Abbas, dalam pertemuannya dengan Sullivan presiden Palestina itu menyerukan gencatan senjata segera dan peningkatan bantuan ke Jalur Gaza, serta menekankan bahwa Jalur Gaza adalah bagian integral dari negara Palestina. Pernyataan itu tidak menyebutkan pembicaraan mengenai skenario pasca perang.