Setelah bertahan selama beberapa bulan menghadapi serangan mematikan dari militer terhadap protes damai, warga sipil mulai meningkatkan perlawanan bersenjata sejak bulan Mei. Beberapa bergabung dengan kelompok etnis bersenjata yang sudah ada, sementara yang lain membentuk pasukan anti-kudeta baru.
Menurut Assistance Association for Political Prisoners, yang memantau situasi di Myanmar, setidaknya 1.382 orang telah tewas sejak kudeta pada 1 Februari. Lebih dari 11.200 pengunjuk rasa pro-demokrasi telah ditangkap dalam periode yang sama.
Di Negara Bagian Kayah dan wilayah tetangga di selatan Negara Bagian Shan, Pasukan Pertahanan Kewarganegaraan Karenni (KNDF), yang terdiri dari beberapa kelompok bersenjata baru, dan Tentara Karenni, sebuah organisasi pemberontak bersenjata etnis, telah menggunakan taktik perang non-tradisional dalam perlawanan mereka terhadap kekuatan militer.
Sebagai respons terhadap perlawanan bersenjata di seluruh negeri, termasuk di Kayah dan selatan Shan, militer melancarkan serangan udara, pembakaran, tembakan, dan penggunaan senjata secara sembrono pada komunitas, sambil menghalangi akses warga sipil ke kebutuhan pokok.
Mereka mengikuti strategi “four cuts” yang sudah mereka terapkan selama bertahun-tahun untuk menghancurkan basis dukungan kelompok bersenjata etnis.
Data yang dikumpulkan oleh Jaringan Masyarakat Sipil Karenni menunjukkan bahwa hingga 19 Desember, lebih dari 150.000 warga sipil telah mengungsi di sepanjang Negara Bagian Kayah dan distrik Pekon di selatan Negara Bagian Shan.