Berita  

Surabaya Menjadi Tuan Rumah Pertemuan Ilmuwan ASEAN untuk Mengatasi Krisis Iklim

Surabaya menjadi pusat perhatian dengan diselenggarakannya “Humboldt Kolleg – Translate Southeast Asia 2024” pada tanggal 18 hingga 21 September. Acara ini melibatkan 85 Humboldtians dari Asia Tenggara, ilmuwan Jerman, dan peneliti muda Surabaya untuk membahas strategi transformatif dalam menghadapi krisis iklim yang semakin mendesak.

Asia Tenggara, sebagai wilayah yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, menghadapi bencana alam yang semakin sering, kenaikan suhu ekstrem, kenaikan permukaan laut, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Faktor geografis seperti garis pantai yang luas dan ketergantungan pada sektor pertanian serta populasi yang padat menambah kompleksitas tantangan yang dihadapi. Oleh karena itu, Humboldt Kolleg 2024 menjadi langkah penting untuk mengadopsi pendekatan inovatif dalam menangani dampak perubahan iklim.

Humboldt Kolleg 2024 dibuka oleh Duta Besar Jerman untuk Indonesia Ina Lepel. Humboldtians merupakan para ilmuwan yang pernah menerima program fellowship dan penghargaan dari Alexander von Humboldt Foundation di Jerman. Jaringan Humboldt adalah komunitas global yang bergengsi dengan lebih dari 30.000 anggota yang tersebar di lebih dari 140 negara, termasuk 61 penerima Nobel.

ASEAN adalah rumah bagi 336 Humboldt fellows yang berdedikasi, di mana 34 di antaranya berdomisili di Indonesia. Mereka secara rutin bertemu dan menghasilkan kajian ilmiah multidisipliner yang penting yang diterapkan di kampus tempat mereka bekerja.

Leenawaty Limantara dari Universitas Kristen Petra menyatakan, “Sinergi dan kolaborasi antar Humboldtian lintas negara menjadi kekuatan kami sesuai dengan semboyan lembaga yang mendanai kegiatan kami yakni ‘Once a Humboldian always a Humboltian’.”

Beberapa tema utama yang dibahas dalam pertemuan ini antara lain praktik keberlanjutan inovatif dengan fokus pada transisi ke ekonomi sirkular untuk meminimalkan limbah dan meningkatkan efisiensi sumber daya. Investasi dalam energi terbarukan dan pengelolaan karbon juga menjadi sorotan, dengan energi surya, angin, dan biomassa dijadikan prioritas.

Kolaborasi lintas disiplin dipandang sebagai cara efektif untuk menjembatani kesenjangan antara penelitian ilmiah, kebijakan, dan implementasi praktik nyata. Institusi pendidikan, terutama universitas, diharapkan dapat memimpin inisiatif keberlanjutan dengan mengintegrasikan energi terbarukan dan memajukan program daur ulang.

Keterlibatan masyarakat lokal juga menjadi komponen penting dalam mendukung praktik berkelanjutan dan pemberdayaan ekonomi melalui proyek-proyek lokal.