Perang antara Iran dan Israel yang terjadi pada Jumat (13/6/2025) menjadi hasil dari kebijakan luar negeri yang diterapkan oleh Donald Trump yang cenderung mengutamakan pendekatan bisnis dalam urusan geopolitik. Menurut Syafruddin Karimi, seorang ekonom dari Universitas Andalas, Trump memperlakukan hubungan internasional sebagai area negosiasi transaksional, bukan sebagai kerangka yang harus dijaga stabilitasnya. Keputusan Trump untuk menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran (JCPOA) pada tahun 2018 menghancurkan mekanisme perdamaian yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Akibat dari tekanan maksimal yang terus diberlakukan, Iran kini melanjutkan program pengayaan uranium, sedangkan Israel merasa didorong untuk melancarkan serangan militer terbuka terhadap situs nuklir dan tokoh strategis Iran.
Karimi menekankan bahwa Trump tidak mengusulkan gencatan senjata, melainkan memberikan ultimatum kepada Iran untuk kembali ke meja perundingan, seolah ini hanyalah perpanjangan dari negosiasi bisnis dengan risiko yang lebih besar. Dukungan militer dari Amerika Serikat kepada Israel, meskipun tidak secara resmi diumumkan, memberikan bukti bahwa AS bukan hanya penonton, tetapi turut aktif dalam konflik tersebut.
Pendekatan yang diterapkan oleh Trump, menurut Karimi, memperlakukan konflik geopolitik sebagai bagian dari strategi bisnis yang penuh risiko. Seiring dengan peluncuran misil dan kenaikan harga minyak, pasar saham di wilayah tersebut mengalami keruntuhan dan Selat Hormuz menghadapi ancaman pemblokiran, Trump terus menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang kuat yang ingin ‘menang’ dalam perundingan. Namun, realitasnya adalah dunia sedang terpapar potensi konflik regional yang dapat berkembang menjadi bencana global.
Konsekuensi dari pendekatan yang memperlakukan konflik geopolitik sebagai bagian dari strategi bisnis adalah pergeseran dari perang dagang yang merusak pasar ke risiko kehancuran nuklir yang lebih besar. Itulah gambaran kondisi saat ini yang dipaparkan oleh Syafruddin Karimi terkait perang antara Iran dan Israel.