Kementerian Pertahanan Prancis menjelaskan melalui situs webnya bahwa pesawat Rafale bukanlah target yang dipilih secara kebetulan. Jet ini telah digunakan di berbagai medan operasi yang mendapat sorotan internasional. Selain itu, Rafale dianggap sebagai aset strategis bagi Prancis. Serangan terhadap pesawat ini bertujuan untuk merusak kredibilitas Prancis serta industri pertahanan dan teknologi militer negara tersebut.
Dassault Aviation telah berhasil menjual 533 unit Rafale, termasuk 323 unit untuk diekspor ke negara-negara seperti Mesir, India, Qatar, Yunani, Kroasia, Uni Emirat Arab, Serbia, dan Indonesia. Indonesia sendiri telah memesan 42 pesawat Rafale dan tengah mempertimbangkan untuk melakukan pembelian tambahan.
Para ahli kekuatan udara, seperti Justin Bronk dari Royal United Services Institute di London, memperkirakan bahwa China berusaha melemahkan hubungan keamanan yang tengah dibangun Prancis dengan negara-negara Asia. Hal ini dilakukan dengan menyebarkan kekhawatiran terhadap perlengkapan militer Prancis yang disuplai ke negara-negara di kawasan tersebut. Hal ini bisa berdampak negatif pada prospek penjualan Rafale di pasar ekspor.
Dengan demikian, China diduga menggunakan performa atau klaim performa dari sistem persenjataan Pakistan dalam upaya untuk mereduksi daya tarik Rafale di pasar ekspor. Tindakan ini mengindikasikan bahwa China melihat peluang untuk merusak prospek penjualan jet tempur buatan Prancis di kawasan Indo-Pasifik.