Pekan lalu, otoritas kesehatan Gaza mengosongkan kantor pusatnya di Rumah Sakit Al-Shifa, rumah sakit terbesar di Jalur Gaza, ketika pasukan Israel mengepung dan menggerebek fasilitas tersebut, yang mereka tuduh digunakan Hamas sebagai pusat komando.
Hamas dan manajemen rumah sakit telah membantah keras tuduhan tersebut.
Staf yang bertanggung jawab menghitung jumlah korban tewas dilaporkan tersebar di seluruh Jalur Gaza selatan dan kesulitan untuk berkoordinasi satu sama lain, termasuk dengan rumah sakit karena seringnya terputus komunikasi.
Rumah sakit-rumah sakit di Jalur Gaza utara disebut telah ditutup kecuali Rumah Sakit Awda, sebuah fasilitas swasta di kamp pengungsi Jabalia, di utara Kota Gaza, tempat para dokter melakukan operasi dengan senter dan merawat pasien di lantai yang berlumuran darah.
“Ini kekacauan. Ada bom di sekitar kami, serangan udara, serangan tank, penembak jitu, dan tembakan,” kata Direktur Rumah Sakit Awda Ahmad Muhanna. “Kami berusaha memberikan perkiraan terbaik yang kami bisa, namun setiap detiknya, semakin banyak pasien yang datang dan keadaannya semakin sulit.”
“Dalam banyak kasus saat ini, sertifikat kematian tidak ada.”
Tanpa penghitungan jumlah korban tewas yang jelas, para aktivis khawatir konflik akan terus berlanjut tanpa akuntabilitas. Mereka mengatakan angka-angka tersebut penting karena dapat berdampak langsung pada kebijakan dan urgensi global.
“Kita harus mencatat angka-angka ini dalam sejarah,” kata Shawan Jabarin, direktur kelompok hak asasi manusia Palestina al-Haq.
“Akuntabilitas adalah satu hal dan hal lainnya adalah mengajarkan generasi berikutnya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Ini penting untuk keadilan transisi, untuk perdamaian.”