Pada 27 April, mahasiswa dari lebih dari 40 universitas tetap menggelar pawai besar menuju Tiananmen, meski sudah ada peringatan keras dari pemerintah. Aksi ini mendapat dukungan luas dari berbagai kalangan, termasuk pekerja, intelektual, dan pegawai negeri. Lebih dari satu juta orang memenuhi Tiananmen menjelang pertengahan Mei, tempat yang menjadi saksi sejarah deklarasi berdirinya Republik Rakyat Tiongkok oleh Mao Zedong pada tahun 1949.
Namun, semangat demokrasi yang terus berkobar dianggap sebagai ancaman serius oleh pemerintah. Beijing dinyatakan dalam status darurat militer pada tanggal 20 Mei. Meskipun pasukan militer dikerahkan, mereka tertahan oleh gelombang massa yang berada di jalanan. Bahkan, pada tanggal 23 Mei, militer terpaksa ditarik mundur ke pinggiran kota.
Negosiasi yang buntu dan tekanan dari faksi garis keras dalam pemerintahan akhirnya memicu keputusan penting: Tiananmen harus direbut kembali. Operasi penindakan dimulai pada malam 3 Juni, di mana tentara menembaki warga dan mahasiswa tanpa pandang bulu. Jalanan dipenuhi darah dan jeritan, dengan korban yang tak terhitung. Banyak dari korban bahkan bukanlah demonstran, melainkan warga sipil biasa yang menolak untuk mundur. Pada pagi 4 Juni, Tiananmen kembali dikuasai oleh pemerintah, namun dengan biaya korban yang sangat besar.
Pasca tragedi tersebut, pemerintah melancarkan operasi pembersihan besar-besaran. Ribuan orang ditangkap dan sebagian dieksekusi. Kelompok reformis di dalam partai dikepung, sementara kekuasaan faksi konservatif semakin menguat. Tragedi berdarah di Lapangan Tiananmen pada tahun 1989 tetap menjadi salah satu momen paling kelam dalam sejarah Tiongkok.
Referensi: Liputan6.com – Tragedi Berdarah Di Lapangan Tiananmen Pada 3 Juni 1989: Pemerintah Tiongkok Berantas Aktivis Pro-Demokrasi