Mantan calon presiden Amerika Serikat, Hillary Clinton, telah menyerukan penolakan terhadap gencatan senjata di Gaza. Dia berpendapat bahwa gencatan senjata hanya akan menguntungkan kelompok Hamas.
“Orang-orang yang mendukung gencatan senjata sekarang tidak memahami Hamas,” kata Hillary Clinton dalam acara Baker Institute, seperti dikutip oleh The Jerusalem Post, Selasa (31/10/2023).
“Gencatan senjata akan menjadi hadiah bagi Hamas karena mereka akan menggunakan waktu tersebut untuk membangun persenjataan mereka,” jelas Hillary Clinton.
Hillary bukanlah satu-satunya tokoh politik yang menolak gencatan senjata di Gaza. Sebelumnya, Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak juga menolak gencatan senjata, hanya mendukung “jeda khusus” untuk bantuan kemanusiaan.
Pada pemilihan presiden AS tahun 2016, Hillary Clinton dikalahkan oleh Donald Trump meskipun politisi senior ini diprediksi akan memenangkan pemilihan itu. Sejak saat itu, Clinton tidak lagi terlibat dalam politik praktis, sementara Trump masih berencana untuk maju dalam pemilihan presiden AS tahun 2024.
Seorang sejarawan Israel mengutuk respons Barat terhadap krisis Gaza. Hal ini dilaporkan sebelumnya bahwa negara-negara Barat memberikan jaminan kepada Israel dalam melakukan genosida di Jalur Gaza. Avi Shlaim, sejarawan Israel-Inggris dan profesor emeritus hubungan internasional di Universitas Oxford, mengeluarkan pernyataan keras ini dalam forum diskusi ‘The War on Gaza: What’s Next for Palestine?’ di London, Inggris, pada Senin (30/10/2023).
Dukungan AS, Inggris, dan Uni Eropa, termasuk dukungan militer, dinilai oleh Shlaim sebagai keterlibatan mereka dalam pembantaian massal yang dilakukan oleh Israel di Jalur Gaza.
“Respons Barat terhadap krisis ini adalah kemunafikan dan standar ganda yang kejam, namun kali ini sudah pada level baru. Cinta Barat terhadap Israel selalu ada, selalu bergantung pada penghapusan sejarah Palestina dan kemanusiaan,” kata Shlaim, seperti dilansir oleh Middle East Eye, Selasa (31/10).
“Pemimpin Barat selalu menekankan kekhawatiran mereka terhadap keamanan Israel, namun tidak ada pemikiran yang sama terkait keamanan Palestina.”
Shlaim lahir pada tahun 1945 di Baghdad dan berasal dari orang tua yang memiliki koneksi yang baik dan merupakan bagian dari minoritas Yahudi yang telah tinggal di Irak selama ribuan tahun. Pada usia lima tahun, Shlaim dan keluarganya terpaksa melarikan diri menyusul pengeboman yang menargetkan orang-orang Yahudi di ibu kota Irak.
Sebagai salah satu “sejarawan baru” di Israel, Shlaim termasuk dalam kelompok yang menganalisis ulang sejarah negara ini dan sering kali menyoroti penindasan terhadap orang Palestina.