Liputan6.com, Tokyo – Situasi anak-anak di Jalur Gaza mirip dengan Jepang setelah bom nuklir menghantam pada akhir Perang Dunia II. Hal tersebut disampaikan Toshiyuki Mimaki, salah satu pemimpin Nihon Hidankyo, kelompok pemenang Nobel Perdamaian 2024 yang terdiri dari para penyintas bom atom Hiroshima dan Nagasaki.
“Di Jalur Gaza, anak-anak yang berdarah-darah digendong (oleh orang tua mereka). Ini seperti di Jepang 80 tahun lalu,” kata Toshiyuki dalam konferensi pers di Tokyo, seperti dikutip dari kantor berita Anadolu, Sabtu (12/10).
“Anak-anak di Hiroshima dan Nagasaki kehilangan ayah mereka dalam perang dan ibu mereka dalam pengeboman. Mereka jadi yatim piatu.”
Toshiyuki melanjutkan, “Orang-orang menginginkan perdamaian. Namun, para politikus bersikeras mengobarkan perang, dengan mengatakan, ‘Kami tidak akan berhenti sampai kami menang.’ Saya pikir ini berlaku untuk Rusia dan Israel. Saya selalu bertanya-tanya apakah kekuatan PBB tidak dapat menghentikannya?”
Pria berusia 42 tahun itu memperingatkan bahwa senjata nuklir tidak membawa perdamaian.
“Karena senjata nuklir, dunia menjaga perdamaian. Namun, senjata nuklir dapat digunakan oleh teroris,” ujarnya.
“Jika Rusia menggunakannya untuk melawan Ukraina atau Israel untuk melawan Jalur Gaza, itu tidak akan berhenti di situ.”
Toshiyuki berusia 3 tahun ketika bom atom dijatuhkan di Hiroshima pada 6 Agustus 1945, menewaskan 140.000 korban.
Tiga hari kemudian, bom lain menghantam Nagasaki, menewaskan 70.000 korban lainnya. Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, mengakhiri Perang Dunia II.
Nihon Hidankyo sendiri adalah sebuah gerakan akar rumput yang mewakili para penyintas bom atom Hiroshima dan Nagasaki, yang dikenal sebagai Hibakusha.
Didirikan pada tahun 1956, Nihon Hidankyo telah menjadi suara bagi para penyintas bom atom, memberikan kesaksian tentang kengerian perang nuklir dan mengadvokasi penghapusan total senjata nuklir.