Salah satu dari tiga kandidat di bawah ini disebut sebagai sosok yang mungkin ideal bagi AS. Siapa orang itu?
Mohammed Deif
Tidak jelas apakah Mohammed Deif masih hidup. Militer Israel mengatakan Deif tewas dalam serangan udara awal tahun ini, namun seorang pejabat tinggi Hamas mengakui kepada AP pada bulan Agustus bahwa dia masih hidup.
Reuters melaporkan, sebagai anggota pendiri dan komandan sayap militer Hamas, Brigade Izz al-Din al-Qassam sejak tahun 2002, Deif diyakini sebagai dalang serangan 7 Oktober bersama Sinwar.
Seorang mantan penasihat kontraterorisme di Kementerian Luar Negeri AS menggambarkan Deif sebagai “pejabat Hamas yang sangat garis keras”.
Laporan BBC menyebutkan, Deif sebagai perancang salah satu senjata utama Hamas, roket Qassam, dan jaringan terowongan di Jalur Gaza.
Khalil al-Hayya
Khalil al-Hayya adalah anggota biro politik Hamas yang berbasis di Qatar dan telah menjadi negosiator utama dalam diskusi gencatan senjata. Saat ini dia tinggal di Qatar.
Pejabat AS mengatakan kepada CNN bahwa al-Hayya “mungkin orang yang diinginkan AS” karena perannya dalam pembicaraan gencatan senjata. Menurut Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri, dia adalah tokoh utama dalam negosiasi kesepakatan gencatan senjata dengan Israel selama perang Jalur Gaza 2014.
AP melaporkan pada bulan Agustus bahwa al-Hayya juga dipandang sebagai calon pengganti Ismail Haniyeh yang tewas pada Juli. Namun, peran itu jatuh ke tangan Sinwar.
Al-Hayya, sebut AP, mengatakan pada bulan April bahwa Hamas akan meletakkan senjatanya, berubah menjadi partai politik, dan menyetujui gencatan senjata selama lima tahun jika Negara Palestina merdeka didirikan berdasarkan tapal batas 1967.
Pada tahun 2007, al-Hayya selamat dari serangan Udara di rumahnya di Jalur Gaza, yang menewaskan anggota keluarganya.
Khaled Mashal
Khaled Mashal adalah pemimpin Hamas selama lebih dari satu dekade mulai tahun 2006, serta mantan pemimpin biro politiknya.
Namun, menurut CNN, dia akan menjadi pilihan yang tidak mungkin mengingat dukungannya terhadap pemberontakan terhadap Presiden Suriah Bashar al-Assad, yang menyebabkan keretakan dengan pelindungnya, Iran.
Mashal selamat dari upaya pembunuhan terhadapnya pada akhir tahun 90-an.
“Sejarah Palestina terdiri dari siklus,” kata pria berusia 68 tahun itu dalam wawancaranya dengan Reuters di Qatar, tempat dia tinggal, awal bulan ini.
“Kami melewati fase-fase di mana kami kehilangan martir dan kami kehilangan sebagian dari kemampuan militer kami, namun kemudian semangat Palestina bangkit kembali, seperti burung phoenix, terima kasih kepada Tuhan.”