Semakin banyak tentara Israel yang merasa kecewa dengan pertempuran di Jalur Gaza dan wilayah konflik lainnya di Lebanon dan Tepi Barat, menyebabkan beberapa dari mereka menolak untuk kembali ke medan perang.
Menurut laporan di media Israel, HaMakom, wawancara dengan lebih dari 20 orang tua dan pasukan di berbagai batalion menguak fakta soal meningkatnya ketidakpuasan di antara para prajurit.
Di Brigade Nahal, para prajurit menghabiskan waktu lima pekan untuk bertempur di Jalur Gaza sebelum kembali ke rumah untuk beristirahat, sesuatu yang telah mereka lakukan 11 kali sejauh ini sejak dimulainya pertempuran pada 7 Oktober 2023.
Namun, menurut HaMakom, selama pengerahan ke-11 hanya enam prajurit dari satu peleton yang terdiri dari 30 orang yang muncul, sementara yang lain mencari-cari alasan.
“Saya menyebutnya penolakan dan pemberontakan,” tutur Inbal, ibu dari salah satu prajurit di peleton tersebut, kepada HaMakom seperti dilansir Middle East Eye, Selasa (22/10).
“Mereka terus kembali ke gedung yang sama yang telah mereka bersihkan, hanya untuk menemukan mereka kembali dijebak. Di lingkungan Zaytoun saja (di Kota Gaza), mereka telah ke sana tiga kali. Mereka mengerti bahwa itu sia-sia dan tidak ada gunanya.”
Semua orang yang diwawancarai dalam laporan tersebut berbicara secara anonim karena takut akan menghadapi reaksi dari militer.
“Yang membunuh mereka adalah kondisi dan lamanya pertempuran tanpa akhir yang terlihat. Anda tidak pernah tahu kapan Anda akan keluar dan sudah seperti ini selama setahun,” kata orang tua lainnya, Eidit.
Militer Israel telah merilis nama-nama lebih dari 750 tentara yang tewas sejak perang dimulai pada Oktober tahun lalu, termasuk lebih dari 350 yang tewas selama operasi darat di Jalur Gaza.
Setidaknya 43 tentara Israel tewas dalam serangan dan operasi darat di garis depan utara perang di sepanjang perbatasan Lebanon.
Tentara lainnya mengatakan kepada HaMakom bahwa misi “dilakukan setengah-setengah” karena kurangnya tenaga kerja.
“Peleton-peleton itu kosong; mereka yang tidak tewas atau terluka secara fisik, mengalami gangguan mental. Sangat sedikit yang kembali untuk bertempur, dan bahkan mereka tidak sepenuhnya baik-baik saja,” ujar tentara tersebut.